Minggu, 02 Maret 2014

So Special!

Karena Mereka (Semua) Begitu Spesial

Hidup ini terlalu indah untuk dimiliki oleh satu orang. Hidup ini terlalu 'egois' untuk membuat setiap orang 'terpaksa' menjadi seperti dirinya. Ya, terlalu? Iya, terlalu membuat seseorang merasa bahwa dirinya sudah cukup baik untuk menjadi yang utama. Hanya dia, dan dia ingin setiap orang harus mengopinya. Namun bagaimana soal realita? Kadang seseorang tidak menyadari bahwa idealitanya ternyata bukanlah idealita yang sebenarnya. Ini adalah persoalan bagaimana ia memandang sebuah idealita yang akhirnya disebut sebagai prinsip. Secara jelas dipertanyakan sudah benarkah idealitanya? Tentang bagaimana starting point dalam menentukan sebuah idealita. Lalu tentang bagaimana menjaga kemurnian idealita tersebut. Jangan-jangan pada perjalanan beberapa langkah idealita ini hanya suatu heroik sesaat yang masih harus terus dihangatkan ulang karena dibiarkan lama sehingga menjadi dingin. Ya mungkin realitanya adalah begitu. Ada banyak aspek yang perlu dimanage ulang sehingga apa yang disebut idealita ini benar-benar betul utuh dan terjaga sampai Allah mengambilnya.



00.21
080214
@Tawangmangu

Melengkapi

Dalam sebuah kelompok, kelompok apapun itu, adalah suatu keniscayaan ada yang disebut pemimpin dan ada pula yang disebut anggota, apalagi ketika kelompok tersebut memiliki tujuan yang jelas dan kuat. Pemimpin disini adalah sosok yang akan menjadi nahkoda dalam keberjalanan kelompok tersebut, menjadi pengarah gerak jalan kelompok tersebut, dan pengambil keputusan dalam setiap persoalan. Begitu urgent nya fungsi pemimpin, maka bagaimana mungkin kelompok tersebut akan berhasil mencapai tujuannya jika tidak ada struktur pemimpin dan anggota yang jelas? Atau mungkin, ada struktur yang jelas namun fungsi itu tidak berjalan? Bisa jadi.


Oke sekarang kita berbicara soal pemimpin. Mari sebelumnya kita bersepakat bahwa adanya pemimpin dalam suatu kelompok itu amat penting dan fungsinya harus berjalan dengan baik.
Dari Zaid bin Tsabit bahwasanya ia berkata di sisi Nabi Saw, "Seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan." Nabi Saw pun bersabda, "Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan hak-haknya. Dan seburuk-buruk perkara adalah kepemimpinan, bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar maka kelak hanya akan mengundang kekecewaan pada hari Kiamat." (HR. Thabrani).
Kepemimpinan yang baik adalah yang dijadikan sebagai sarana untuk terus mencari kebaikan di sisi Allah, mendekatkan diri kepada Allah, dan memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak. Bukan untuk mencari kepopuleran atau suatu kebanggaan di sisi manusia. Karena pemimpin yang baik adalah ketika dia meyakini bahwa sesunggunya kepemimipinannya, baik dalam lingkup besar maupun kecil, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya di yaumil qiyamah kelak nanti, sehingga pemimpin yang baik senantiasa berusaha menjadi seorang yang amanah.

Pemimpin dalam lingkup paling kecil adalah pemimpin bagi diri sendiri, ialah bagaimana kemudian kita mampu memimpin jiwa, hati dan segala anggota badan kita sehingga senantiasa berjalan lurus dan tidak menyimpang dari perintah Allah. Misalkan saja, kita memimpin lisan kita, maka kita mengatur lisan kita untuk berbicara halyang baik-baik saja, bukan sebaliknya. Selanjutnya mari kita berbicara tentang lingkup organisasi. Dalamprose  s kepemimpinan kita mengenal istilah periodisasi kepemimpinan. Ya, masing-masing pemimpin memiliki masa kepemimpinannya masing-masing pula. Dan masing-masing dari mereka tentu memiliki karakteristiknya masing-masing. Pemimpin yang satu tentu memiliki gaya yang berbeda dengan pemimpin yang lain. Gaya kepemimpinan masing-masing pemimpin itu berbeda, maka tidak bisa harus selalu disamakan. Mengapa berbeda? Ya gampangnya karena karakter per seorangan dari merekapun berbeda, meskipun tuntutan kepemimpinan itu sama (terlepas dari kondisi eksternal).

Taruhlah pemimpin pada suatu kepengurusan organisasi. Pemimpin baru akan dipilih pada saat kepengurusan baru, demikian seterusnya. Seorang pemimpin baru pasti memiliki inovasi baru yang berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Bahkan karakter kepemimpinannyapun berbeda. Seorang pemimpin pasti tidak ingin disamakan dengan pemimpin sebelumnya. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, karena masing-masing memiliki karakter pribadi  yang berbeda. Ada sebuah fenomena, ini nyata, mungkin juga sering terjadi dalam beberapa organisasi, seorang anggota suatu organisasi menyebutkan, "aku nggak suka sama mas .........., enakan mas .......... ketua kemaren, aku lebih nyaman pas kepengurusan kemaren. Apalagi mas nya cuek banget, nggak kayak ketua yang kemaren mas nya ramah suka nyapa sama perhatian". Ya memang sah-sah saja dia mengatakan seperti itu, itu hak dia, namun perkataan dia juga tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Ada beberapa hal yang perlu dikoreksi dari masing-masing pihak baik si ketua (pemimpin) dan anggota tersebut. Pertama. Bagi si ketua. Ketika ada anggotanya yang mengatakan begitu anggaplah sebagai kritikan dan masukan, ya ternyata begitulah yang dirasakannya tentang sikap yang selama ini si ketua lakukan. Memang sifat atau karakter itu sudah melekat pada diri, namun sebenarnya sifat dan karakter itu bisa dibangun dan dibentuk. Maka tidak ada salahnya mengubah sifat dan karakter selama itu dibutuhkan untuk kebaikan bersama. Dan selama yang dituju adalah sifat dan karakter yang lebih baik daripada sebelumnya. Namun perlu dicatat bukan berarti "menjadi orang lain", bukan begitu, saya rasa pemimpin yang baik tahu apa yang perlu diubah dari dirinya untuk menghindari kemudharatan. Kedua. Bagi si anggota. Memang benar hakikat seorang pemimpin sebetulnya adalah pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Maka sangat wajar sekali ketika membutuhkan seorang pemimpin yang sempurna. Namun pertanyaannya adalah adakah sosok pemimpin yang sempurna pada saat ini? Tidak ada. Nah makanya pemimpin bukan lah Malaikat, bukan pula seorang Rasul yang ma'shum. Pemimpin adalah manusia biasa yang kadang juga khilaf. Maka jika seorang pemimpin melakukan kesalahan tugas anggota adalah mengingatkan, bukan menjustifikasi apalagi membandingkan dengan pemimpin sebelumnya. Seorang anggota juga harus menyadari bahwasanya tugas seorang pemimpin itu amatlah berat, karenanya yang dibutuhkan seorang pemimpin adalah dukungan, bantuan dan saran-saran yang mendukung.

Oleh karena itu, dalam sebuah kelompok seorang pemimpin dan anggota harus saling melengkapi. Masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang bersinergi untuk mencapai tujuan bersama.


Ada tanggapan???
Silakan isi komentar di bawah :)


18.45
010314
@Khansa Studio 5

Hanya Modal Suka? Cukup?




Ingin berbicara soal perasaan. Ya perasaan manusia. Kabarnya sih perasaan itu tidak bisa dicegah. Tidak terkecuali perasaan suka. Siapapun berhak merasakan suka kepada siapapun atau apapun. Yang ingin kutanyakan pertama adalah bagaimana perasaan suka itu muncul? Katanya nih, suka itu muncul tanpa perlu alasan yang jelas. Rasa suka adalah anugerah indah yang Allah berikan. Rasa suka membuat hati berbunga-bunga dan bisa-bisa bikin si perasa suka senyum-senyum sendiri. Ah aku tidak sepakat dengan teori ini. Bagaimana mungkin perasaan suka tidak perlu punya alasan yang jelas. Perasaan itu juga butuh pertanggungjawaban. Lalu bagaimana bisa mempertanggungjawabkan jika alasan saja tidak punya. Jadi, aku lebih sepakat bahwa rasa suka yang benar adalah ketika ia muncul karena alasan yang benar pula. Contohnya adalah, ketika seseorang suka tilawah, kenapa? karena dia tahu bahwa tilawah adalah salah satu amalan utama yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Nah ini adalah rasa suka yang benar terhadap suatu hal. Kemudian bagaimana jika rasa suka itu untuk seseorang?

Oke, kita mulai bahas tentang suatu hal yang belum pernah aku bahas disini (hehe). Adalah perasaan suka seseorang terhadap orang lain (lawan jenis-red). Aku sampaikan lagi bahwa perasaan suka adalah fitrah setiap manusia. Setiap orang pasti pernah merasakan suka terhadap seseorang, entah itu suka, kagum, simpati atau apalah namanya. Mungkin bagi para ABG rasa suka ini tidak butuh alasan. Namun bagi kita? Oke sebelumnya aku anggap kita semua sudah cukup dewasa, ya umur sekitar 20 tahun keatas lah ya (soalnya yang nulis ini umurnya sedang menuju 23 tahun hehe). Kembali lagi yap. Jangan bermain-main dengan rasa suka. Karena dengan rasa suka itu bisa membawa kita pada kebaikan atau justru keburukan. Salah satu indikatornya adalah kapan kita menggunakannya.

Kapan. Kapan rasa suka itu muncul? Rasa suka yang benar adalah ketika kedua belah pihak berada dalam kondisi yang sudah sah, maksudnya sudah menikah. Ada kisah menarik yang dialami oleh kakak senior. Jadi beliau menikah dengan seorang laki-laki yang belum dikenalinya sebelumnya. Belum kenal lho saudara-saudara. Mereka dipertemukan dalam sebuah proses yang bernama ta'aruf. Beliau meyakini bahwa pernikahan yang mereka bangun adalah untuk da'wah ilallah, bukan karena modal suka sebelumnya. Bagaimana bisa sudah suka wong kenal saja belum. Ya mereka menikah karena kesamaan visi yang mereka miliki. Begitu sederhanakah? Oh tentu bukan hal yang sederhana. Menikah itu bukan hal yang sederhana, bukan hanya sekedar karena suka satu sama lain. Menikah itu bukan hanya modal suka. Terus berarti salah kalau sudah suka sebelumnya? Sebenarnya tidak sepenuhnya salah juga. Fenomena ini mungkin sering terjadi. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, rasa suka itu bukanlah yang utama dalam membangun sebuah pernikahan. Suka itu hanya penambah rasa saja. Seorang yang hendak menikah harus punya alasan yang jelas mengapa ia mau menikah dengannya? Jika hanya modal rasa suka itu terlalu duniawi. Maka menikah itu harus punya orientasi ukhrowi. Karena dengan orientasi ukhrowi tersebut, hal-hal yang bersifat duniawi akan menjadi lebih mulia di sisi Allah.

Rasa suka yang benar adalah rasa suka yang juga hadir untuk segala suasana. Dalam suasana senang ataupun tidak, rasa suka itu terus hadir bahkan semakin berkembang. Karena rasa suka itu menguatkan bukan melemahkan. Dan buatlah rasa suka itu sebagai sarana cinta kita kepada Allah SWT. Sudah siapkah dengan rasa suka itu???



08.05
020314
@Khansa Studio 5