Selasa, 31 Desember 2013

Kepekaan = Akhlaq

M: Ini siapa hayo yang nggak nutup galon. Apa susahnya to nutup galon? Heran deh! (dengan muka kesel)

Nggak ada yang nanggepin.
Tak berpengaruh sedikitpun dengan lingkungan sekitar.

N: Siapa nih yang baru makan piringnya nggak diambil? Piring warna biru. Hayo segera diambil! (nyindir si M)

M: Oh iya itu piringku. Maap lupa!

Dan di kamar, D dan J cuma ketawa denger suara M dan N.
J: (ketawa)
D: (ketawa) Apakah yang kita pikirkan sama?
J: Sepertinya iya. Geli deh. Hahaha


*Cerita di atas hanya untuk pelajaran. Mohon maaf jika ada kesamaan tokoh dan situasi.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Peka. Bagiku kepekaan itu adalah akhlaq. Dan akhlaq muncul dengan sendirinya, karena ia dibiasakan. Akhlaq bisa disebut sifat karena ia mencermikan bagaimana pribadi sesorang. Maka, peka pun begitu. Ia harus dibiasakan sehingga menjadi akhlaq. Kisah diatas memberikan pelajaran bahwa seharusnya si M tidak perlu teriak-teriak dengan nada kesal karena galonnya belum ditutup. Tinggal ditutup sendiri saja bisa kan? Bisa jadi yang tadi buka galon lupa untuk menutupnya. Disini prinsip husnudzon perlu dipakai. Namanya juga berinteraksi horisontal pasti ada saja yang bikin kesal. Namun bagaiman kemudian hati perlu dilapangkan untuk lebih memahami orang-orang di sekitar. Dan ternyata memang, untuk memahami perlu adanya hati yang bersih dan jernih.



*lagi buka tulisan-tulisan di lepi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar